Aku benci jatuh cinta. Aku benci merasa senang bertemu denganmu, tersenyum dibalik handphoneku, dan menebak-nebak, selalu menebak-nebak. Aku benci deg-degan menunggu kamu online. Dan di saat kamu muncul, aku akan tiduran tengkurap, bantal di bawah dagu, lalu berpikir, tersenyum, dan berusaha menyapamu tapi aku tahan, karena aku takut kamu hilang ketika aku menyapamu.
Aku benci terkejut melihat whatsappmu di inbox-ku dan aku benci kenapa aku harus memakan waktu begitu lama untuk membalasnya, menghapusnya, memikirkan kata demi kata. Aku benci ketika jatuh cinta, semua detail yang aku ucapkan, katakan, kirimkan, tuliskan ke kamu menjadi penting, seolah-olah harus tanpa cacat, atau aku bisa jadi kehilangan kamu ketika salah mengatakan sesuatu. Aku benci harus berada dalam posisi seperti itu. Tapi, aku tidak bisa menawar, ya? Aku benci harus menerjemahkan isyarat-isyarat kamu itu. Apakah pertanyaan kamu itu sekadar pancingan atau retorika atau pertanyaan biasa yang aku salah artikan dengan penuh percaya diri? Aku benci harus memikirkan kamu sebelum tidur dan merasakan sesuatu yang bergerak dari dalam dada, menjalar ke sekujur tubuh, dan aku merasa pasrah, gelisah.
Aku benci ketika logika bersuara dan mengingatkan, “Hey! Ini hanya ketertarikan fisik semata, pada akhirnya kamu akan tahu, kamu tidak akan memilikinya, karena banyak hal yang harus kamu pikirkan” dan biasa oleh hati yang membantah, “Jangan hiraukan logikamu.”
Aku benci harus mencari-cari kesalahan kecil yang ada di dalam diri kamu. Kesalahan yang secara rutin aku cari dengan paksa karena aku benci tahu bahwa kamu tidak akan jadi milikku, bahwa bisa saja benar-benar jatuh hati kepadamu. Aku benci jatuh cinta, terutama kepada kamu. Demi Tuhan, aku benci jatuh cinta kepada kamu yang sudah mempunyai seorang istimewa disana dan aku pun juga sama. Karena, di dalam perasaan menggebu-gebu ini; di balik semua rasa kangen, takut, canggung, yang bergumul di dalam dan meletup pelan-pelan…
Aku takut sendirian.